Rabu, 22 Mei 2013

mengkritisi kinerja guru sertifikasi

Oleh Yudha Cahyawati
Guru sekolah dasar negeri, tinggal di Surabaya
Survei yang dilaksanakan Persatuan Guru Repulik Indonesia (PGRI) mengenai dampak sertifikasi terhadap kinerja guru menyatakan bahwa kinerja guru yang sudah lolos sertifikasi belum memuaskan. Motivasi kerja yang tinggi justru ditunjukkan guru-guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum lolos sertifikasi. Harapan mereka adalah segera lolos sertifikasi berikut memperoleh uang tunjangan profesi (Jawa Pos, 7/10/2009).
Hasil survei tersebut memperkuat dugaan sebagian besar masyarakat yang menyebut “proyek” program sertifikasi guru itu sekadar formalitas. Para guru yang belum tersertifikasi terlihat bekerja keras -dengan berbagai cara sampai pada cara-cara instan- demi mendapatkan sertifikasi guru. Lebih dari itu, tujuan lainnya adalah memperoleh tunjangan profesi yang jumlahnya lumayan besar.
Kerja keras guru tersebut ternyata hanya berlaku saat akan mengikuti sertifikasi. Tapi, pascasertifikasi, kemampuan dan kualitas guru sama saja. Dengan kata lain, ada atau tanpa sertifikasi, kondisi dan kemampuan guru sami mawon atau sama saja. Tidak ada perubahan dan peningkatan signifikan pada kualitas diri dan pembelajaran di sekolah. Mengapa itu terjadi?
Problem Sertifikasi Guru
Jika merujuk pedoman yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sertifikasi merupakan upaya peningkatan kualitas guru yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan mereka. Diharapkan, program itu meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. Bentuk peningkatan kesejahteraan tersebut berupa pemberian tunjangan profesi (TP) sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik. Tunjangan itu berlaku bagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun yang bukan atau non-PNS.
Saat ini program sertifikasi guru akan memasuki tahun keempat, yakni 2009-2010. Sertifikasi tahap pertama, kedua, dan ketiga telah menghasilkan ratusan, bahkan ribuan guru yang telah disertifikasi. Mereka menyebar di seluruh Indonesia, khususnya Jawa Timur. Kita berharap program itu berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas guru serta pembelajaran dan pendidikan di Indonesia.
Namun, ada beberapa catatan kritis yang perlu terus dikemukakan sebagai pengingat. Pertama, sertifikasi berpotensi menjadi komersialisasi sertifikat. Para guru hanya berorientasi pada selembar sertifikat/portofolio. Bahkan, para guru berani membayar berapa pun untuk ikut kegiatan seminar atau workshop pendidikan, meski hasilnya tak sesuai dengan harapan. Tujuan asasi sertifikasi, yakni meningkatkan kualitas dan kompetensi guru, akhirnya memudar.
Kedua, bermunculan berbagai lembaga penyedia jasa seminar atau workshop awu-awu. Mereka mencari para guru yang “gila” akan sertifikat sebagai lampiran dalam portofolio. Bahkan, tidak sedikit lembaga penyedia sertifikasi instan yang memanfaatkan antusiasme guru yang berorientasi pada selembar sertifikat. Tapi, kegiatan riilnya tidak jelas. Makelar-makelar pendidikan pun tumbuh subur di tengah kebutuhan para guru mendapatkan sertifikat atau portofolio. Kegiatan yang dilakukan penyedia jasa tersebut hanya formalitas, bahkan berorientasi materi. Bagi penyelenggara, yang penting dapat memberikan sertifikat yang dibutuhkan para guru.
Ketiga, selama ini sertifikasi guru hanya didominasi dan dimonopoli guru PNS. Sedangkan guru swasta cenderung dianaktirikan. Seharusnya, pemerintah bersikap adil dan tidak diskriminatif dalam kebijakan sertifikasi. Guru swasta mempunyai hak sama untuk mendapatkan sertifikasi guna meningkatkan kualitas dan kompetensi, juga tunjangan.
Keempat, ternyata kebijakan sertifkasi bagi guru cenderung berorientasi pada harapan kenaikan tunjangan, bahkan sekadar formalitas yang ditunjukkan dengan sebuah portofolio. Kadang portofolio itu juga bermasalah dalam pengajuannya (baca: manipulasi dan instanisasi). Portofolio bisa saja dipermainkan oleh guru yang hanya mengejar kenaikan tunjangan. Dengan begitu, tujuan awal sertifikasi, yaitu menghasilkan standardisasi dan kualifikasi guru yang kapabel dan kredibel, pudar. Penilaian terhadap kualitas dan kompetensi guru yang diwujudkan dalam portofolio tersebut berpotensi subjektif.
Kelima, sertifikasi guru yang berdampak pada kenaikan tunjangan ternyata belum berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan an sich. Sudah beberapa kali gaji tunjangan guru dinaikkan, tapi hasil dan kinerja mereka masih rendah saja. Uang miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk program sertifikasi itu bisa sia-sia karena tak berbekas pada peningkatan kualitas pendidik dan pengajaran.
Berdasar data Depdiknas, sampai 2009 sudah ada sekitar 400.450 guru yang masuk program sertifikasi. Di antara jumlah tersebut, yang sudah dinyatakan lulus 361.460 guru. TP tidak serta-merta bisa dimiliki semua guru. Meski, pemberian TP tidak dihentikan -dalam hal ini Depdiknas berencana tetap mengevaluasi secara ketat program tersebut. Tahun ini Depdiknas bakal mengeluarkan standar operasional prosedur (SOP) yang digunakan untuk memantau kinerja guru seiring dengan dilaksanakannya sertifikasi.
Dalam implementasinya, dinas pendidikan kabupaten/kota bertanggung jawab penuh dan akan langsung memantau kinerja peserta sertifikasi. Jika memang guru tak memenuhi kewajiban, TP bisa dihentikan. Selain itu, bila dalam pemantauan guru tersertifikasi memiliki kinerja rendah, tidak tertutup kemungkinan TP-nya dihentikan. Dengan kata lain, TP bakal terus diberikan kepada guru tersertifikasi dengan kinerja yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Sekjen Depdiknas Dodi Nandika, nanti TP diberikan berdasar kinerja.
Akhirnya, dinas pendidikan didorong untuk memperbaiki dengan lebih maksimal agar program sertifikasi mampu melahirkan kualitas dan profesionalitas guru yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pendidikan, tak sekadar guru memperoleh tunjangan materi.
Kebijakan dan program sertifikasi guru itu perlu diawasi lebih ketat agar tidak menjadi formalisme atau sekadar ajang mendapatkan TP. Apalagi, terjadi manipulasi dokumen ataupun portofolio. Karena itu, para guru yang telah mendapatkan sertifikasi perlu dipantau terus-menerus, apakah memiliki kapasitas dan kompetensi yang sebenarnya dalam mengajar. Yang lebih penting lagi adalah peningkatan nilai produktivitas guru dalam mengajar dan berkarya sehingga sertifikasi benar-benar berdampak pada peningkatan kualitas guru dan pendidikan. (Sumber: Jawa Pos, 15 Desember 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar