SEJARAH
PERADABAN DAN PEMIKIRAN
BANI
UMAYYAH I
A.
Pendahuluan
Sebagai
bagian dari khazanah masa lalu, sejarah panjang perjalanan islam telah
membentuk suatu peradaban yang mengalami pasang surut. Hal ini tampak dalam
hadis Nabi yang menjelaskan tentang keadaan dan kondisi umat islam, yang dalam
hal ini Nabi cirikan dengan keadaan para penguasanya. Setidaknya beliau membagi
fase peradaban islam setelah beliau wafat dalam empat fase. Fase pertama adalah
fase dimana kepemimpinan kaum muslimin dikelola oleh orang-orang yang mengacu
pada cara (manhaj) kepemimpinan nabi, yang adil dan mengangkat kewibawaan
Islam. fase ini disepakati sudah berlalu dengan para aktornya adalah khulafaa-ur-rasyidiin.
Fase
kedua merupakan masa dimana para penguasanya kebanyakan adalah penguasa yang
sombong, angkuh dan tidak lagi menggunakan manhaj kepemimpinan nabi. Walaupun
begitu, para penguasa di fase ini masih menggunakan hukum-hukum Islam sebagai
dasar perundangan negara. Selanjutnya kaum muslimin akan dihadapkan dengan masa
dimana para penguasanya adalah penguasa yang zholim, kejam dan menindas kaumnya
sendiri. Fase inilah yang kemudian ditengarai sedang terjadi di dunia Islam
pada masa-masa sekarang. setelah fase yang ketiga ini selesai, maka akan muncul
masa dimana kepemimpinan umat Islam akan diusung kembali oleh penguasa yang adil. Yaitu orang-orang yang memimpin
sesuai dengan manhaj kepemimpinan Rasulullah. Fase-fase peradaban Islam di
atas, juga mewariskan berbagai macam hal yang sangat mempengaruhi dan berharga
pada dinamika kehidupan peradaban manusia. Ditinjau dari warisan peradaban
Islam dari masa ke masa, akan terlihat perbedaan mendasar karakteristik warisan
itu, sesuai dengan fase peradaban Islam yang saat itu terjadi[1].
Dalam
makalah ini kami membatasi diri dalam pembahasan dinasti Bani Umayyah I, yang menjadi
tonggak awal terbentuknya sistem monarkhi dalam islam dan perkembangan
peradaban di dunia islam.
B.
Perjalanan
Dinasti Bani Umayyah I
Bani Umayyah
merupakan anak turun dari Umayyah bin Abdul Syams, yang merupakan salah satu
dari suku Quraisy. Pada masa sebelum islam bani Umayyah selalu bersaing dengan
bani Hasyim yang juga termasuk suku Quraisy. Pada masa itu, bani Umayyah memegang
peranan penting dalam masyarakat Mekah. Merekalah yang menguasai pemerintahan
dan perdagangan pada masa itu. Akan tetapi, ketika agama islam mulai berkembang
dan mendapatkan pengikut, mereka merasa bahwa kekuasaan dan perekonomiannya menjadi
terancam[2].
Sehingga pada waktu itu mereka sangat memusuhi agama islam. Namun pada
akhirnya, ketika islam menjadi kuat dan dapat menguasai Mekah, mereka mulai menyerah
dan bahkan mau memeluk islam. Diantara mereka terdapat Mu’awiyah bin Abu Sufyan
yang dikemudian hari menjadi pendiri dinasti Umayyah.
Kerajaan
Bani Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah Bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus
dan berlangsung hingga pada tahun 132H/750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah
seorang politisi handal dimana pengalaman politiknya sebagai gubernur Syam pada
masa khalifah Utsman bin Affan cukup mengantar dirinya mampu mengambil alih
kekuasaan dari gegaman keluarga Ali bin Abi Thalib. Tepatnya setelah Husein
putra Ali bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah.
Kekhalifahan
Muawiyah ini diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya , tidak
dengan pemilihan. Hal ini berbeda dengan proses pemilihan kepala Negara pada
masa sebelumnya, yang diniliai cukup demokrasi. Dia memang tetap menggunakan
istilah khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu
untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya "Khalifah Allah"
dalam pengertian "penguasa" yang diangkat oleh Allah.
Keberhasilan
Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan
terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid
bagi landasan pembangunan politiknya dimasa depan. Adapun faktor keberhasilan tersebut
adalah :
1.
Dukungan yang kuat dari rakyat Syria dari keluarga Bani Umayyah.
2.
Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara
bijak dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3.
Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai
negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat hilm sifat tertinggi yang dimiliki
oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti
Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan
yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi[3].
Adapun raja-raja yang berkuasa pada dinasti Umayyah
I ini berjumlah 14, antara lain :
1.
Mu’awiyah I bin Abi Sufyan (41-61H/661-680M)
2.
Yazid bin
Mu’awiyah (61-64H/680-683M)
3. Mu’awiyah II bin Yazid (64-65H/683-684M)
4. Marwan bin Hakam (65-66H/684-685M)
5.
Abdul
Malik bin Marwan (66-86H/685-705M)
6. Al-Walid bin Abdul Malik
(86-97H/705-715M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik
(97-99H/715-717M)
8. Umar bin Abdul Azis (99-102H/717-720M)
9. Yazid bin Abdul Malik (102-106H/720-724M)
10. Hisyam bin Abdul Malik
(106-126H/724-743M)
11. Al-Walid II bin Yazid
(126-127H/743-744M)
12. Yazid III bin Walid(127H/744M)
13. Ibrahim bin Malik (127H/744M)
14. Marwan II bin Muhammad (127-133H/744-750M)
Ketika
Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan
setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat
kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah
setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein
ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali)
melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadab Bani
Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali.
Setelah Yazid wafat, pemerintahan
digantikan oleh Mu’awiyah II bin Yazid. Namun, Mu’awiyah II tidak sanggup
memerintah dan menyerahkan kepemimpinannya kepada Marwan bin Hakam. Akan
tetapi, Marwan hanya memerintah selama 9 bulan dan mengundurkan diri karena
tidak bisa menghadapi pergolakan politik yang terjadi. Suasana kerajaan bisa
dipulihkan setelah kekhalifahan dipegang oleh Abdul Malik bin Marwan, tepatnya
ketika gerakan yang dipimpin oleh Abdullah bin Zubeir berhasil ditumpas. Pada
masa inilah kemajuan dinasti Umayyah dimulai, diantaranya :
a. Menetapkan
Bahasa Arab sebagai bahasa resmi.
b. Mendirikan
Balai kesehatan untuk rakyat.
c. Mendirikan
Masjid di Damaskus.
Kejayaan Kerajaan Umayyah semakin
menonjol setelah diperintahkan Al-Walid bin Abdul Malik, yaitu tahun 705-715 M. Pada
masanya, kerajaan Umayyah mampu memperluas wilayah kekuasaan Islam
sampai ke India , Afrika
Utara, hingga Maroko, dan Andalusia . Pada masa
ini perluasan wilayah Islam meliputi sebagai berikut:
a.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Romawi di Asia Kecil
meliputi Ibukota Konstantinopel serta perluasan ke beberapa pulau di Laut
Tengah.
b.
Wilayah Afrika Utara sampai ke pantai Atlantik dan
menyeberangi selat Jabal tarik (Selat Gibraltar).
c.
Wilayah Timur, Bagian Utara di seberang sungai Jihun
(Amru Daria).
Pada
masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd Al-Aziz (717-720 M) hubungan pemerintah
dengan golongan oposisi mulai membaik. Ketika dinobatkan sebagai khalifah, Beliau
menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah
Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas
utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat
singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia juga
memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan, kedudukan Mawali disejajarkan
dengan muslim Arab.
Sepeninggal
Umar ibn Abd Al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid ibn
Abd al-Malik (720- 724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada
kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya
hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau.
Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan
konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd Al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut
hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd Al-Malik (724-743
M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan
berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani
Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali dan merupakan ancaman yang sangat
serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan
dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya
Hisyam ibn Abd al-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan
tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya
mematahkannya.
Sepeninggal
Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya
lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi.
Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang
bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah
terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana .
C.
System Pemerintahan Dinasti Umayyah I
Memasuki
masa kekuasaan Mu’awiyyah yang menjadi awal kekuasaan bani Umayyah ini, sistem
pemerintahan islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki
heredetis (kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun
dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia
terhadap anaknya, Yazid[4]. Beliau
menjadikan azas nepotisme sebagai dasar pengangkatan khalifah. Hal ini
menunjukkan bahwa Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium, yakni
penerapan garis-garis kepemimpinan.
Perintah ini tentu saja
memberikan sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan bentuk
pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun
oleh Mu’awiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah
(syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Mu’awiyah telah merubah model
kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regerisasi kekuasaan dengan
cara memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis
keturunan Mu’awiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan
yang sama untuk memimpin pemerintah Umat Islam, karena sistem dinasti hanya
membenarkan satu kebenaran bahwa suksesi hanya bisa diberikan kepada keturunan
dalam dinasti tersebut[5].
Pada masa
pemerintahan Muawiyah Konsolidasi Internal mulai dilakukan. Tujuannya adalah
untuk memperkokoh barisan dalam rangka pertahanan dan keamanan dalam negeri,
antisipasi atas setiap gerakan pemberontak, dan untuk memperlancar program futuhat. Ada lima diwan (lembaga)
yang menopang suksesnya konsolidasi yang dilakukan, yakni: Diwan al-Jund (Urusan
Kemiliteran), Diwan ar-Rasail (Urusan Administrasi dan Surat), Diwan al-Barid
(Urusan Pos), Diwan al-Kharaj (Urusan Keuangan), dan Diwan al-Khatam (Urusan
Dokumentasi)[6].
Dari
segi organisasi militer, pada masa dinasti ini bangsa arab telah mencapai
perkembangan yang cukup signifikan. Jumlah tentara ketika pemerintahan berada
dibawah kekuasan Muawiyah berjumlah 60.000 orang, dengan anggaran sebesar 60
juta dirham. Setelah penaklukan Bizantium, angkatan perang Umayyah didata dalam
sebuah organisasi yang cukup besar. Satu divisi terdiri dari 5 corp, dua corp
untuk barisan depan, satu corp untuk barisan tengah, dan dua corp lagi adalah
untuk barisan belakang. Organisasi ini masih terus berlangsung hingga akhir
pemerintahan Marwan (II) bin Muhammad. Ia menghapus organisasi ini dan
mengenalkan susunan tentara yang disebut kurdus. Para
tentara dilengkapi dengan senjata canggih pada masa itu, seperti peluru yang
digerakkan dengan roket.
Dari
segi cara hidup, para khalifah Dinasti Umayyah telah meninggalkan pola dan cara
hidup Nabi Muhammad SAW dan Khulafa' Ar-Rasyidun. Mereka menjaga jarak dengan
masyarakat, dengan tinggal di istana yang dikelilingi oleh para pengawal.
Baitul mal yang selama masa pemerintahan sebelumnya difungsikan sebagai dana
swadaya masyarakat yang difungsikan untuk kepentingan rakyat, pada masa Umayyah
telah berubah fungsi. Kecuali ketika dinasti Umayyah di bawah pemerintahan Umar
bin Abdul Aziz, kas negara adalah milik penguasa dan keluarganya. Rakyat hanya
wajib untuk menyetor pajak tanpa mempunyai hak menanyakan penggunaannya. Pada
masa ini pajak Negara dialihkan menjadi harta pribadi para kholifah. Pendapatan
pajak diperoleh dari, pajak tanah, jizyah, zakat, cukai dan pajak pembelian,
upeti yang harus dibayar menurut perjanjian, seperlima ghonimah, fai’, impor
tambahan hasil bumi, hadiah festifal, dan upeti anak dari bangsa barbar[7].
D.
Perkembangan Peradaban Dinasti Umayyah I
Dari
berbagai periode pemerintahan Dinasti Umayyah, penaklukan merupakan program
utama pemerintah yang sudah mentradisi, kecuali pada periode Umar bin Abdul
Azis. Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Utsman dan Ali dilanjutkan
kembali oleh dinasti ini. Penaklukan tersebut erat kaitannya dengan kondisi angkatan
darat dan laut yang tangguh dan sistem administrasi yang mapan, rapi, dan
komplit. Konsekuensinya, segala kebijakan pemerintah menentukan berhasil
tidaknya penaklukan. Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di
timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul
sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria,
Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan,
daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia
Tengah.
Disamping
ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di
berbagai bidang. Semasa bani Umayyah berkuasa, banyak institusi politik
dibentuk, misalnya undang-undang pemerintahan, dewan menteri, lembaga
sekretariat negara, jawatan pos dan giro serta penasihat khusus di bidang
politik. Dalam tatanan ekonomi dan keuangan juga dibentuk jawatan ekspor dan
impor, badan urusan logistik, lembaga sejenis perbankan, dan badan pertanahan
negara. Sedang dalam tatanan teknologi, dinasti ini telah mampu menciptakan
senjata-senjata perang yang canggih pada masanya, sarana transportasi darat
maupun laut, sistem pertanian maupun pengairan[8].
Muawiyah
mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang
lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan
angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Lambang Negara yang sebelumnya tidak
pernah dibuat oleh Al-Khulafaur Rasyidin, mulai dibuat pada masa ini. Ia menetapkan bendera merah
sebagai lambang negaranya, yang menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
Kholifah
Abd Al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di
daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada
tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Ia juga berhasil
melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan
bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
Keberhasilan
Khalifah Abd Al-Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid ibn Abd Al-Malik (705-
715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam
kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun
jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya,
pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Selain
melakukan perbaikan di berbagai bidang seperti yang telah disebutkan di atas,
dinasti Umayyah juga melakukan perubahan dalam beberapa bidang, seperti :
a.
Bidang sosial
Pada
masa dinasti ini, stratifikasi sosial mulai dikenal. Rakyat imperium arab
terbagi kedalam empat golongan. Golongan pertama merupakan golongan yang
terdiri atas kaum muslimin yang memegang kekuasaan dan dikepali oleh anggota
istana serta kaum ningrat dari penakluk arab. Golongan kedua merupakan golongan
neomuslim, baik dengan atas kemauan sendiri maupun paksaan. Golongan ketiga merupakan
kaum non muslim yang mengikat perjanjian dengan kaum muslim. Golongan keempat
merupakan golongan budak yang merupakan golongan terendah.
Meskipun
sistem pemerintahan tidak berjalan demokratis, namun kondisi sosial pada masa
dinasti Umayyah tetap damai dan adil. Kebebasan memeluk agama pun juga dijamin.
Diantara usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayyah
dalam mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh sistem
pemerintahan dan menata administrasi yang bertugas mengurusi masalah keuangan
negara yang dipergunakan untuk:
1.
Gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha Negara.
2.
Pembangunan pertanian, termasuk irigasi.
3.
Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang
4.
Perlengkapan perang[9]
Disamping
usaha tersebut Daulah Bani Umayyah memberikan Hak dan perlindungan kepada warga
Negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai
hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu
Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh
seorang ketua Hakim (Qadli). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan
ijtihadnya. Para hakim menggali hukum
berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Disamping itu kehakiman ini belum
terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan
penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh
suatu golongan politik.
b.
Bidang pendidikan
Nampaknya
pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan
pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin. Para Khulafa agaknya kurang
memperhatikan bidang pendidikan, sehingga perkembangannya pun kurang maksimal. Meskipun
demikian, Dalam bidang ini, dinasti Umayyah memberikan andil yang cukup
signifikan bagi perkembangan budaya arab pada masa sesudahnya, terutama dalam
pengembangan ilmu-ilmu agama islam, sastra, dan filsafat.
Bila dibandingkan
dengan masa Khulafa Ar-Rasyidin, pola pendidikan Islam pada periode Dinasti
Umayyah telah mengalami perkembangan. Hal ini ditandai dengan semaraknya
kegiatan ilmiah di tempat-tempat yang telah disediakan untuk kegiatan tersebut.
Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam, dimana
kurikulumnya telah disesuaikan dengan tingkatannya masing-masing. Metode
pengajarannya pun tidak sama. Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuwan dalam
berbagai bidang tertentu.
Tempat-tempat
yang telah disediakan demi perkembangan pendidikan Islam pada masa Dinasti
Umayyah ada tiga yaitu: Kuttab, Mesjid, dan Majelis Sastra. Khuttab merupakan
tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al Quran serta belajar
pokok-pokok ajaran Islam.[10] Setelah
pelajaran anak-anak di kuttab selesai mereka melanjutkan pendidikan yang
dilakukan di mesjid. Pada Dinasti Umayyah ini, pendidikan yang dilaksanakan di mesjid
terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada
tingkat menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi
gurunya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman serta keahliannya.
Sedangkan Majelis sastra, merupakan balai pertemuan untuk membahas masalah kesusasteraan
dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik yang disiapkan oleh
khalifah yang dihiasi dengan hiasan yang indah dan hanya diperuntukkan bagi
sastrawan dan ulama terkemuka.
c.
Bidang seni
Pada
masa Daulah Bani Umayyah ini bidang seni juga mengalami perkembangan, terutama
seni bahasa, seni suara, seni rupa, dan seni bangunan (Arsitektur). Dalam
bidang arsitektur, peranan kholifah daulah Umayyah sangat menonjol. para
kholifah sangat menyokong perkembangan seni ini seperti menara yang diperkenalkan
oleh Mu’awiyah. Kubah as-sakhra di yerussalem yang dibangun oleh Abdul Malik
pada tahun 691, merupakan salah satu contoh hasil karya arsitek muslim zaman
permulaan yang paling cantik. Bangunan ini merupakan masjid yang pertama kali
ditutup dengan kubah. Pada sekitar abad VII Walid ibn Abdul Malik membangun
masjid agung di syiria berdasarkan nama-nama penguasa dinasti umayyah. Dengan
demikian, perkembangan arsitektur mencapai puncaknya pada bentuk dan arsitektur
masjid-masjid.
d.
Ilmu pengetahuan
Pada masa dinasti ini, tepatnya pada
paroh terakhir dinasti Umayyah, cabang-cabang ilmu baru yang sebelumnya belum
pernah diajarkan dalam dunia islam mulai diajarkan seperti, tata bahasa,
sejarah, geografi dan lain-lain. Pada masa Umayyah, ilmu pengetahuan terbagi
menjadi dua macam, yaitu :
1. Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru),
yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur’an, Hadist, Fiqh, al-Ulumul
Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-Ulumul Dakhiliyah (ilmu yang
diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu thib, filsafat, ilmu
pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi ;
2.
Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu
yang telah ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat,
seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal.[11]
Usaha
yang tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini dimulainya
penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam Bahasa Arab, seperti yang
dilakukan oleh Khalid ibn Yazid ibn Mu'awiyah. Ia merupakan seorang orator dan
penyair yang berpikiran tajam. Ia pula orang yang pertama kali menerjemahkan
ilmu pengetahuan yunani ke dalam bahasa arab, seperti astronomi, kedokteran dan
kimia[12]. Bahkan , Ia
memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang kimia dan kedokteran serta mengarang
beberapa buku dalam bidang tersebut. Pada masa Umar ibn Abdul Aziz, sekolah
kedokteran yang pada awalnya berada di Alexandria
dipindahkan ke Antokia. Di bawah pemerintahannya karya yunani banyak yang
diterjemahkan ke dalam bahasa arab.
Pada
masa ini pula ilmu tafsir dan tafsir al-qur’an mulai berkembang dengan pesat.
Ilmu tafsir memiliki letak yang strategis, disamping karena faktor luasnya
kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya
rasa seni sastra arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam. Hal ini
menyebabkan pencemaran bahasa Al Quran dan makna Al Quran yang digunakan untuk
kepentingan golongan tertentu.
Pencemaran Al Quran juga disebabkan oleh faktor intervensi yang
didasarkan kepada kisah-kisah Israiliyyat. Karena tuntutan untuk mempelajari
dan menafsirkan al-qur'an itulah, dua jenis ilmu pengetahuna yakni filologi dan
leksikografi mendapatkan perhatian oleh banyak orang[13].
Selain
ilmu tafsir, ilmu hadist juga mendapatkan perhatian serius. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang memerintah
hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim surat kepada Abu Bakar ibn Amir bin
Ham dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadist-hadist,
namun hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun
demikian pemerintahan Umar ibn Aziz telah melahirkan metode pendidikan
alternative, yakni para ulama mencari hadist ke berbagai tempat dan orang yang
dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal metode Rihlah. Pada masa dinasti inilah, kitab tentang ilmu hadist sudah mulai dikarang
oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadist yang terkenal pada masa itu,
antara lain : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin
Syihab az-Zuhri, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami
al-Makky, Al-Auza’i Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Sya’bi.[14]
Dibidang fiqh secara garis besar dapat
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli al-Ra’y dan aliran al hadist,
kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan
analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada
dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat
Al Quran dan hadits yang menerangkannya. Nampaknya disiplin ilmu fiqh
menunjukkan perkembangan yang sangat berarti. Periode ini telah
melahirkan sejumlah mujtahid fiqh. Terbukti ketika akhir masa Umayyah telah
lahir tokoh mazhab yakni Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam Malik Ibn Anas di
Madinah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada masa
Abbasyiyah.[15]
E.
Penyebab Keruntuhan Dinasti Umayyah I
1.
Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan
adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek
senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian
khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan
anggota keluarga istana.
2.
Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak
bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali.
Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan
oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara
tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan
terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis
antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah
ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan
para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan
kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di
Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali
itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab
yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4.
Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga
disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak
khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi
kekuasaan. Disamping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian
penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5.
Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani
Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas
ibn Abd Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan
golongan Syi’ah, dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan
Bani Umayyah.
6.
Kaum Mawali yang tidak mendapatkan posisi strategis di
pemerintahan turut menggerogoti kepemimpinan dinasti Mu'awiyah
7.
Sikap antipati Ulama terhadap kehidupan mewah keluarga
kerajaan.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Ensiklopedia Islam, dewan redaksi ensiklopedi islam,
Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta
2.
Pertumbuhan Dan Perkembangan Budaya Arab Pada Masa
Dinasti Umayyah, Fadlil Munawwar Manshur, majalah Humaniora Volum VI
3.
Dinasti Umayyah : Perkembangan Politik, Hermain
El-Hermawan, Forum Kajian Islam Strategis Sumatra Utara
4.
Artikel Khalifah Bani Umayyah (Masa Kemajuan Islam)
oleh: azwarti
5.
Sistem Sosial Budaya dan Model Pemerintahan Pada Masa
Bani Umayyah, Imronfauzi.wordpress.com.htm
[1]
Tinjauan Kritis Terhadap Fase-Fase
Peradaban Islam, Afzalurrahman Assalam,http://WordPress.com
[2] Ensiklopedia Islam, dewan redaksi ensiklopedi
islam, Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta ,
1994, vol. V hlm.130
[3]
Kepemimpinan Pada Masa Bani Umayyah Dan
Bani Abasiyah, http://zanikhan.multiply.com/
[4] Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, As-Syiyasah
As-Syar’iyah fi Islah Ar-Ra’iyah (Mesir, Darul Kitab al-Gharbi, 1951), hlm.
42
[5] Dinasti
Bani Umayyah : (Perkembangan Politik, Gerakan Oposisi, Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Kejatuhan Dinasti), Mohammad Suhaidi RB http://deemuhammad.blogspot.com
[6]Dinasti Umayyah : Perkembangan Politik, Hermain
El-Hermawan, Forum Kajian Islam Strategis Sumatra Utara
[7] Pertumbuhan Dan Perkembangan Budaya Arab Pada Masa
Dinasti Umayyah, Fadlil Munawwar Manshur, majalah Humaniora Volum VI
[8] Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya
Umat Islam: Rajawali Pers: Ajid Thohir hal 37
[9] Sistem Sosial Budaya dan Model Pemerintahan Pada Masa
Bani Umayyah, Imronfauzi.wordpress.com.
[10]
Mahmud. Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta , PT. Hida Karya Agung, 1981, h. 39
[11] Dinasti
Bani Umayyah : (Perkembangan Politik, Gerakan Oposisi, Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Kejatuhan Dinasti), Mohammad Suhaidi RB http://deemuhammad.blogspot.com
[12] Ensiklopedia Islam vol. 5, dewan redaksi
ensiklopedi islam, Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta : 1994
[13]
Pertumbuhan Dan Perkembangan Budaya Arab Pada Masa Dinasti Umayyah, Fadlil
Munawwar Manshur, majalah Humaniora Volum VI
[15]
Munawar Chalil, Empat Biografi Imam Mazhab, Jakarta , Bulan Bintang, 1989, h. 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar